
Tips Sehat – Bullying Jadi Tren di Kalangan Gen Z, Apakah Wajar Jika Dinormalisasi?
Di era digital yang serba cepat dan terkoneksi. Tak sedikit perilaku negatif justru mengalami rebranding dan di kemas seolah-olah sebagai hal yang “lucu”, “sarkastik”, atau bahkan “relatable”. Salah satu contohnya adalah fenomena bullying yang kini mulai terlihat sebagai tren di kalangan Gen Z, terutama di media sosial. Namun, pertanyaannya: apakah perilaku seperti ini wajar jika di normalisasi?
Bullying yang Berubah Wajah
Dulu, bullying identik dengan kekerasan verbal atau fisik yang terjadi di lingkungan sekolah atau tempat kerja. Tapi kini, bentuknya semakin beragam—mulai dari body shaming berkedok candaan, komentar sarkastik dalam live streaming. Hingga cyberbullying yang di kemas dalam meme atau konten viral.
Di banyak platform seperti TikTok, X (Twitter), dan Instagram. Tak jarang kita menemukan komentar pedas terhadap selebriti, teman sebaya, atau bahkan orang asing. Yang kemudian di justifikasi sebagai “dark humor”, “guyonan Gen Z”, atau “cara kami coping dengan stres.”
Sayangnya, batas antara bercanda dan menyakiti semakin kabur. Kebebasan berekspresi mulai di jadikan alasan untuk melegalkan perilaku toxic.
Kenapa Bisa Jadi Tren?
Ada beberapa faktor yang mendorong normalisasi bullying di kalangan Gen Z:
- Konten Viral Berbasis Konflik
Algoritma media sosial cenderung mendorong konten kontroversial atau penuh drama. Akibatnya, komentar jahat dan sindiran sarkastik justru lebih sering muncul di linimasa karena dianggap “menarik perhatian.” - Budaya FOMO dan Cancel Culture
Banyak remaja ikut-ikutan mengejek seseorang hanya karena tidak ingin “ketinggalan tren” atau agar tidak menjadi target berikutnya. Cancel culture juga kadang di salahgunakan sebagai dalih untuk melakukan perundungan massal. - Kurangnya Literasi Empati di Dunia Digital
Karena tidak berhadapan langsung dengan orang yang di komentari, sebagian besar pelaku merasa lebih bebas mengekspresikan opini tanpa menyadari dampaknya.
Apakah Wajar Dinormalisasi?
Jawaban tegasnya: tidak.
Meskipun Gen Z di kenal sebagai generasi yang vokal dan ekspresif, normalisasi bullying bukanlah hal yang bisa di benarkan. Candaan yang menyakiti, sindiran yang mempermalukan, atau komentar kejam. Yang mengatas nama kebebasan berpendapat tetaplah bentuk kekerasan verbal dan emosional.
Selain merusak kesehatan mental korban, tren ini juga menciptakan lingkungan sosial yang penuh tekanan. Di mana anak muda merasa harus “tahan mental” hanya agar bisa di terima.
Solusi: Edukasi dan Kesadaran Kolektif
Untuk mencegah tren ini semakin merajalela, di butuhkan langkah nyata:
- Edukasi literasi digital sejak dini, agar generasi muda memahami dampak dari kata-kata mereka.
- Menumbuhkan budaya empati dan toleransi di ruang digital, bukan hanya mengandalkan sistem report atau block.
- Peran aktif orang tua, pendidik, dan platform digital dalam mengawasi serta memberi ruang aman bagi generasi muda untuk mengekspresikan diri tanpa menyakiti orang lain.
Bullying, dalam bentuk apapun, bukan tren yang keren—melainkan luka yang di bungkus humor. Jangan biarkan kekerasan jadi gaya hidup. Saatnya Gen Z jadi generasi yang tak hanya lantang, tapi juga berempati.
Baca Juga : COVID-19 Terbaru di Tahun 2025